Soroti AI & Perubahan Iklim di Universiti Malaya, Ibas: Ekonomi & Ekologi Harus Bersahabat

Anggota Komisi XII DPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono saat memberikan kuliah umum di Universiti Malaya, Malaysia. Foto: Ist/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XII DPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menyoroti dua tantangan besar masa depan dunia: kecerdasan buatan (AI) dan perubahan iklim. Dalam kuliah umum yang disampaikannya di Universiti Malaya, Malaysia belum lama ini. Ibas menegaskan bahwa kedua isu ini, meskipun tampak berbeda, sama-sama membutuhkan perhatian dan kerja sama global yang kuat.
"AI dan perubahan iklim adalah dua hal besar yang akan membentuk hidup kita. Meskipun satu berkaitan dengan teknologi dan yang lain dengan lingkungan, keduanya menuntut kesiapan kita untuk beradaptasi," ujar Ibas dalam keterangan tertulisnya kepada Parlementaria.
Ia menyoroti potensi luar biasa AI dalam membantu manusia, namun juga mengakui kekhawatiran bahwa teknologi ini bisa menggantikan banyak jenis pekerjaan. “Realitanya, sejumlah pekerjaan memang akan berubah bentuk, bahkan mungkin menghilang. Karena itu, kita harus siap menghadapi transformasi ini dengan keterampilan baru dan kemampuan beradaptasi,” tambahnya.
Menurut Ibas, masyarakat harus bisa memanfaatkan kekuatan budaya serta nilai-nilai kemanusiaan khas Asia Tenggara yang tak tergantikan oleh mesin. “Kita dapat merancang penggunaan AI dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
Ibas juga menekankan pentingnya kolaborasi internasional dalam menetapkan pedoman etika penggunaan AI. Ia mengajak negara-negara ASEAN untuk bersama-sama menjadikan teknologi ini sebagai peluang, bukan ancaman.
Selain AI, Ibas juga mengangkat isu perubahan iklim yang dinilainya semakin mendesak. Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan harus berjalan beriringan.
“Beberapa orang berpikir bahwa jika ekonomi sedang sulit, kita bisa menunda urusan lingkungan. Padahal, itu pandangan keliru. Mengorbankan lingkungan justru akan merugikan ekonomi jangka panjang,” ujar Ibas.
Ia mengapresiasi langkah positif Indonesia dan Malaysia dalam menghadapi perubahan iklim, seperti larangan plastik sekali pakai di Malaysia dan upaya serius menangani kebakaran hutan ilegal di Indonesia. Ibas mengajak negara-negara ASEAN memperkuat komitmen hijau dan menyusun kerangka kerja regional untuk penanggulangan bencana dan perlindungan lingkungan.
“Yang lebih penting, kita harus melihat perjuangan melawan perubahan iklim bukan hanya sebagai beban, tetapi sebagai peluang,” katanya.
Legislator Fraksi Partai Demokrat ini juga menekankan pentingnya ekonomi hijau sebagai solusi masa depan. Menurutnya, proyek energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi hijau bisa menciptakan lapangan kerja baru sambil tetap menjaga kelestarian alam.
“Melindungi alam bisa sejalan dengan pengurangan pengangguran. Ekonomi dan ekologi tidak harus bermusuhan, justru bisa menjadi sahabat,” ujarnya.
“Yang kita inginkan adalah pembangunan lintas generasi, yang artinya harus inklusif dan berkelanjutan,” tambahnya.
Kuliah umum ini mendapat sambutan hangat dari Prof. Dr. Yvonne Lim Ai Lian, Associate Deputy Vice-Chancellor (Academic & International) Universiti Malaya. “Asia Tenggara berada di persimpangan perubahan, menghadapi tantangan iklim, gangguan teknologi, dan penataan ulang ekonomi. Pemimpin seperti Dr. Edhie Baskoro membantu kita berefleksi dan berinovasi. Kuliah ini bukan sekadar pertukaran akademis, tetapi juga penegasan kembali hubungan hangat antara Malaysia dan Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Universiti Malaya, Nasatha, juga menyampaikan antusiasmenya. “Kami merasa terhormat bisa mengikuti kuliah umum ini. Banyak ilmu yang kami dapat, terutama soal AI, SDGs, dan tantangan masa depan ASEAN. Terima kasih Dr. Edhie Baskoro. Kami sangat berharap beliau bisa kembali berkunjung ke Universiti Malaya,” ucapnya. (rnm/aha)